Seperti daerah lain di NTT, Manggarai
juga mendapat pengaruh pengembaraan dari orang-orang dari seberang,
seperti Cina, Jawa, Bugis, Makasar, Belanda dan sebagainya.
Cina
Pengaruh Cina cukup kuat dan merata di
seluruh propinsi NTT. Di Manggarai, pengaruh Cina dibuktikan dengan
ditemukannya barang-barang Cina seperti guci, cermin, perunggu, uang
cina dan sebagainya. Pengaruh Cina dimulai sejak awal masehi. Dari
benda-benda yang ditemukan di Warloka terdapat sejumlah benda antik dari
Dinasti Sung dan Ming, dibuat antara tahun 960 sampai tahun 1644.
Jawa
Pengaruh Jawa terutama berlangsung pada
masa Hindu. Di Timo, pada tahun 1225 telah ada utusan dari Jawa.
Diberbagai daerah di NTT ditemukan mitos mengenai Madjapahit. Sedangkan
di Manggarai, label Jawa jadi toponimi di beberapa tempat, seperti
Benteng Jawa.
Bugis, Makasar, Bima.
Pengaruh Bugis, Makasar di NTT termasuk luas, di Flores, Solor, Lembata, Alor dan Pantar. Kesultanan
Goa. Sekitar tahun 1666, orang-orang Makasar, Sultan Goa, tidak hanya
menguasai Flores Barat bagian selatan, tetapi juga seluruh Manggarai.
Mereka menyetorkan upeti / pajak ke Sultan Goa. Kesultanan Goa berjaya
di Flores sekitar tahun 1613 –1640. Pengaruh Goa nampak diantaranya pada
budaya baju bodo dan pengistilahan Dewa Tertinggi Mori Kraeng. Dalam
peristilahan harian, kata Kraeng dikenakan bagi para ningrat. Istilah
tersebut mengingatkan gelar Kraeng atau Daeng dari gelar kebangsawanan
di Sulawesi Selatan.
Kesultanan
Bima. Pada tahun 1722, Sultan Goa dan Bima berunding. Hasil
perundingan, daerah Manggarai diserahkan kepada Sultan Bima sebagai mas
kawin. Sementara itu, di Manggarai muncul pertentangan antara Cibal dan
Todo. Tak pelak, meletus pertempuran di Reok dan Rampas Rongot atau
dikenal dengan Perang Rongot, yang dimenangkan Cibal.
Pertentangan
antara Cibal dan Todo, kemudian melahirkan Perang Weol I, Perang Weol
II dan Perang Bea Loli (Wudi). Perang Weol Ikemenangan di pihak Cibal.
Tetapi dalam perang Weol II dan Perang Bea Loli, Cibal mengalami
kekalahan. Bima saat itu membantu Todo. Kenyataan ini mengkokohkan
posisi Bima di Manggarai, hingga masuknya pengaruh ekspedisi Belanda
pertama tahun 1850 dan ekspedisi kedua tahun 1890 dibawah pimpinan
Meerburg.
Ekspedisi yang terakhir pada tahun 1905 dibawah Pimpinan H.Christofel.
Kehadiran Belanda di Manggarai, membuahkan perlawanan sengit antara
Belanda dan rakyat Manggarai di bawah Pimpinan Guru Amenumpang yang
bergelar Motang Rua tahun 1907 dan 1908. Namun sebelum menghadapi
perlawanan Motang Rua, Belanda mendapat perlawanan dari Kraeng Tampong
yang akhirnya tewas ditembak Belanda dan dikuburkan di Compang Mano.
Selain Kesultanan Goa dan Bima
Kerajaan lain yang pernah berkuasa di
Manggarai adalah Kerajaan Cibal, Kerajaan Lambaleda, Kerajaan Todo,
Kerajaan Tana Dena dan Kerajaan Bajo. Pada saat ini bukti serajah
tentang kerajaan tersebut yang masih tersisa adalah Kerajaan Todo,
walaupun kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Referensi tentang
penelusuran tentang kerajaan-kerajaan Manggarai sulit untuk didapatkan.
Belanda
Pengaruh Belanda ada sejak adanya 3 kali
ekspedisi Belanda ke Manggarai, yaitu tahun 1850,1890, dan tahun 1905.
Pengaruh Belanda di Manggarai terutama pada didirikannya sekolah-sekolah
dan agama Katolik.
Penyebaran agama Islam
Pada abad ke-16, Belanda berekspansi ke
Flores Barat untuk menguasai Manggarai. Penguasaan Manggarai tidak
dilakukan secara langsung oleh Belanda, tetapi melalui Kerajaan Goa yang
berkedudukan di Makasar. Jadi, Manggarai di bawah kekuasaan Kerajaan
Goa. Saat itu orang orang Sulawesi memang telah memeluk agama Islam.
Kehadiran Kerajaan Goa di Manggarai tidak menyebarkan agama. Kerajaan
Goa hanya menjalankan pemerintahan yang digariskan Belanda.
Meski
demikian, secara kultural, simbol-simbol islamik dan doa-doa
tradisional, khususnya, banyak dipengaruhi tradisi islamik Goa dan Bima.
Ada beberapa istilah yang sama antara orang Sulawesi, Bima, dan
Manggarai, atau kemungkinan istilah itu berasal dari bahasa
Makasar-Bugis, seperti kraeng sebagai gelar bangsawan di wilayah
Kerajaan Goa. Istilah itu digunakan pula untuk gelar bangsawan di
Manggarai sampai sekarang.
Mori, sengaji yang berarti Tuhan dalam
bahasa Goa, juga mengandung arti yang sama di Manggarai. Kata kreba
(kabar), rodong (sejenis kerudung yang hanya dipakai wanita), sa dako
(sedikit atau segenggam), sebuah istilah yang biasa merujuk pada
perilaku adil terhadap sesama. Selain itu, dikenal pula simbol-simbol
dalam cara berpakaian. Orang Manggarai, terutama kaum pria, hanya merasa
sah atau percaya diri, jika ia mengenakan peci hitam.
Peci dan sarung sebagai pakaian resmi
yang biasa digunakan dalam penampilanpesta atau acara ritual, termasuk
mengikuti ritual misa di gereja. Cara berpakaian dan jenis pakaian
seperti menjadi lambang kemanggaraian. Dari ciri kultural tersebut,
orang Manggarai lebih dekat dengan Sape dan Bima di Nusa Tenggara Barat
ketimbang suku bangsa Ngada, atau Ende, atau suku bangsa lain di Flores.
Ditemukan pula gejala parabahasa untuk berdoa secara islamik.
Penyebaran agama Katholik Roma
Kristianitas,
khususnya Katholik, sudah dikenal penduduk Pulau Flores sejak abad
ke-16. Tahun 1556 Portugis tiba pertama kali di Solor. Tahun 1561 Uskup
Malaka mengirim empat misionaris Dominikan untuk mendirikan misi
permanen di sana. Tahun 1566 Pastor Antonio da Cruz membangun sebuah
benteng di Solor dan sebuah Seminari di dekat Kota Larantuka. Tahun 1577
saja sudah ada sekitar 50.000 orang Katolik di Flores (Pinto, 2000:
33-37).
Kemudian tahun 1641 terjadi migrasi
besar besaran penduduk Melayu Kristen ke Larantuka ketika Portugis
ditaklukkan Belanda di Malaka. Sejak itulah kebanyakan penduduk Flores
mulai mengenal kristianitas, dimulai dari Pulau Solor dan Larantuka di
Flores Timur kemudian menyebar ke seluruh daratan Flores (termasuk ke
daerah Manggarai dan Manggarai Barat) dan Timor. Dengan demikian,
berbeda dari penduduk di daerah-daerah lain di Indonesia, mayoritas
masyarakat Pulau Flores memeluk agama Katholik. Penyebaran ini banyak
dilakukan melalui peningkatan pendidikan masyarakat.